EC-Article of the Month #7

| By admin

Ajaran Buddha dalam Hubungan antara Makhluk Hidup dengan Alam Semesta
Oleh Albert Lonardo

Salah satu permasalahan besar dalam era globalisasi dan digitalisasi ini adalah masalah lingkungan. Lingkungan semakin terdegradasi ditandai dengan penggundulan hutan hujan tropis, pemusnahan dan eksploitasi spesies, polusi, pemanasan global, dan masih banyak lagi. Hal tersebut terjadi karena manusia berusaha mencari kepuasan materi dengan mengeksploitasi alam di sekitarnya. Sifat serakah tersebut membuat manusia seolah-olah lupa bahwa jika alam hancur, umat manusia juga pasti akan hancur.

Lalu bagaimanakah interaksi antara manusia dan alam yang benar sesuai perspektif ajaran Buddha?
Buddha mengajarkan bahwa makhluk hidup terdiri atas hewan dan manusia, tumbuhan tidak termasuk. Sang Buddha menyadari bahwa makhluk hidup juga memiliki sifat aniccatta (tidak kekal dan selalu berubah-ubah), dukkhata (menderita), dan anattata (tidak mempunyai inti yang kekal). Tiga sifat ini yang biasa kita kenal dengan istilah “tiga corak kehidupan”.

Sejak awal peradaban, makhluk hidup telah menumbuhkan interaksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Namun, interaksi manusia dengan alam saat ini tergolong “rusak” karena ketamakan manusia. Manusia bukan tidak mengetahui tentang risiko terhadap kehidupannya apabila alam rusak. Hanya saja, pengetahuan tersebut seringkali tidak diikuti dengan kesadaran berlanjut: jika alam rusak, alam tidak dapat menyediakan kebutuhan manusia lagi. Efeknya tidak hanya tentang kesulitan pangan yang mungkin kita hadapi, tetapi juga bisa memicu krisis sosial dan kriminalitas akibat persaingan perebutan sumberdaya.

Buddha mengajarkan bahwa makhluk hidup (manusia dan hewan) tersusun atas rupa dan batin. Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta berdasar terhadap hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi (Paticcasamuppada). Setiap sebab yang terjadi termasuk yang dilakukan oleh manusia dan hewan akan menghasilkan akibat yang dampaknya akan kembali dirasakan oleh manusia, hewan, atau alam itu sendiri. Bagai sebuah siklus. Saling mempengaruhi.

Sang Buddha menyadari hal tersebut, sehingga Beliau mengajarkan kita untuk menghargai hewan, tumbuhan, dan alam semesta. Aturan pertama dalam Pancasila Buddhis mengajarkan manusia untuk menghindari perbuatan membunuh yang termasuk tindakan melukai atau menyakiti makhluk hidup. Sang Buddha memahami pentingnya menghargai makhluk hidup dan lingkungannya. Ajaran Buddha mengenai metta merupakan wujud aktif atas kepedulian Buddha bagi kita umat manusia untuk menghargai hewan dan alam semesta ini.


Referensi:
Wijaya, W. Y., ‘Ekologi Buddhis’, in dhammacitta.org, diakses 15 Juli 2020, dari https://dhammacitta.org/artikel/willy-yandi-wijaya/ekologi-buddhis.html