Berikut adalah rangkuman dari Dhammaclass yang diselenggarakan pada tanggal 19 September 2017 di Pusat Studi Pancasila dengan pembicara Dr. Dr. Ir. Effendie Tanumihardja, S.U., MM yang juga merupakan Pembina Keluarga Mahasiswa Buddhis UGM :
Cinta adalah perasaan sepasang manusia untuk saling mencintai, saling memiliki, saling memenuhi, saling pengertian dan tanpa pamrih (ideal). Cinta tidak dapat dipaksakan, cinta tidak pernah tahu kapan datangnya, cinta kadang datang tidak disengaja, cinta tidak oke kalau masing-masing egois, cinta bisa tumbuh sendiri bersamaan dengan kehidupan bersama. Cinta itu penuh misteri, cinta datangnya tiba-tiba. Kalau kita melihat lawan jenis yang cantik atau tampan, sensoir istilahnya, belum tentu kita bisa langsung cinta. Malah terkadang kita mencintai lawan jenis yang below level. Misteri ini terkait dengan kelahiran kembali juga.
Cinta bisa muncul karena tertarik, atau bisa juga cinta muncul karena kewajiban. Yang terakhir ini umum terjadi di zaman dulu. Dulu, orang menikah karena dilamar, padahal sebelumnya tidak kenal atau tidak dekat. Setelah menikah dan menjalani kewajiban seperti pasangan suami isteri pada umumnya, muncul rasa cinta. Cinta muncul karena saling membutuhkan. Kemudian ada pula cinta monyet yang biasa terjadi waktu masa kecil. Jenis-jenis cinta, ada tiga:
a. Cinta karena nafsu, tapi istilah nafsu disini tergantung bagaimana kita memaknainya.
b. Cinta pragmatis
c. Cinta altruistic, mirip dengan metta. Contohnya cinta ibu kepada anaknya.
Emosional dan Rasional. Cinta tidak akan terlepas dari emosi yang bahkan bisa berupa nafsu, asalkan masih rasional tidak apa apa. Tapi tampaknya cinta rasional ini agak sulit diwujudkan, hanya ada di sinetron. Cinta yang tidak rasional itu ketika ada pasangan menikah, tidak punya apa apa, si isteri dilarang bekerja, suaminya pengangguran, tempat tinggal juga tidak punya.Ada kasus baru baru ini, seorang pria berusia 45 tahun menikahi nenek berusia 75 tahun. Kita tidak bisa langsung mengkritisi kalau pria ini matre. Bisa jadi ada alasan lain, bisa jadi pria ini mengidap sindrom tertentu mis tertarik pada wanita yang seperti ibunya.
Kalau di budaya kita menanyakan perihal kehidupan percintaan adalah wajar, sebaliknya di Barat, itu adalah suatu hal yang sangat tabu untuk dibicarakan. Kita sebenarnya terlalu banyak mengurusi kehidupan orang lain. Di Indonesia bahkan muncul istilah kawin hansip, dimana orang-orang dilarang tidur sekamar atau serumah tanpa ikatan pernikahan, istilahnya jika ketahuan berbuat demikian maka akan digrebek.
Di Indonesia ada UU Pernikahan No 1 Tahun 1974. Di Indonesia, masalah terjadi pada saat seseorang akan menikah. Saat ini jika ingin menikah di Indonesia, orang bisa mencatatkan antara di KUA dan kantor catatan sipil biasa. Harapannya, untuk kedepannya KUA tidak hanya terbatas untuk kaum muslim.
Selain itu masalah cinta beda agama terjadi setelah punya anak. Akan ikut agama siapakah si anak nanti? Kemudian terkait dengan ruang untuk beribadahnya. Bagaimana dengan hari raya keagamaan, bagaimana terkait penghormatan kepada orang tua. Bagaimana kalau bercerai. Itu baru permasalahan beda agama, bagaimana kalau pasangan ini juga berbeda etnis yang kebudayaan bertolak belakang. Bagaimana jika salah satunya meninggal dunia. Bagaimana prosesi-prosesi lain seperti 3 hari, 7 hari, sebulan, setahun karena di Indonesia banyak beragam. Saya tidak bilang boleh berbeda, silahkan saja tapi perlu pertimbangan. Kita yakin dalam konsep Buddhis semua agama mengajarkan kebaikan tidak ada yang mengajarkan kejahatan, yang buruk adalah orangnya. Dimanapun, di agama manapun, di organisasi manapun ada orang buruk dan orang baik.
Ada 4 kemungkinan, laki-laki berperan baik dan wanita yang berperan baik kalau berpasangan baik akan menjadi dewa dan dewi. Yang kedua, laki-laki berperangai buruk dan wanita yang berperangai baik, ini akan tergantung wanitanya ada karisma yang kuat atau mempengaruhi atau tidak. Yang ketiga, pria berperangai baik dan wanita berperangai buruk, ini lebih mudah karena biasanya laki-laki diakui secara tidak langsung sebagai rumah tangga. Tetapi jaman sekarang laki-laki belum tentu bisa menghasilkan dan menafkahi keluarganya walaupun diakui seperti kepala keluarga. Tetap saling menghargai satu sama lain karena derajat yang sama.
Namun sistim di Indonesia, laki-laki adalah kepala rumah tangga. Budaya patriarkhi sangat kental. Yang paling parah adalah yang keempat, yaitu laki-laki berperangai buruk dan wanita yang berperangai buruk. Dalam Anguttara Nikaya Sang Buddha mengatakan bahwa hubungan yang paling baik adalah laki-laki berperangai baik dan wanita berperangai baik, walaupun tidak terlalu berperangai baik, mungkin bisa dilatih untuk menjadi berperangai baik. Jika suami istri tidak ingin berpisah dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya, maka harus memiliki 4 kesetaraan keyakinan, moralitas, murah hati, dan kebijaksanaan.
Kalau di dalam kehidupan rumah tangga, termasuk pada masa pacaran, jika apa yang dilakukan, dipikirkan, dan diucapkan dijaga dengan baik maka hubungannya akan baik pula. Diharapkan pasangan memiliki saddha, sila yang setara, cagga yang sama. Sila berguna untuk menjalani kehidupan yang baik dan benar. Dalam Theragatha dikatakan bahwa sila adalah dasar untuk membentuk semua yang baik dan indah. Cagga adalah kedermawanan, mudah memberi tanpa pamrih. Sifat-sifat kedermawanan akan mengurangi ego, menimbulkan rasa hormat, memberi kegembiraan kepada yang lain.
Dhamma dana akan menjadi karma yang sangat baik apabila bisa membuat pendengarnya mendapat sedikit pencerahan. Panna (kebijaksanaan) membantu ketika mengambil keputusan karena dapat lebih objektif. Saddha, sila, cagga, dana, dan panna dapat dilatih. Ada yang perlu dinilai dari seseorang perempuan ketika memilih pasangan hidup yaitu keyakinan, etika, pendidikan, keterampilan wanita, kematangan emosional, dan kebijaksanaan. Dari seorang laki laki yaitu keyakinan, moral, pendidikan, pekerjaan, tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Hal diatas dengan mengabaikan umur, status sosial tampilan, dan faktor keturunan.
Walau beda kepercayaan tetap ada kemungkinan berhasil dalam pernikahan. Dan tentu tetap ada kemungkinan gagal dalam ruang tangga. Karena bukan hanya keyakinan yang menjadi faktor gagal dalam pernikahan. Sang Buddha menyarankan untuk menghindari untuk hal yang memungkinkan untuk membuat kesusahan. Sang Buddha menganjurkan bijaksana dalam mengambil keputusan. Sang Buddha menganjurkan mencari solusi dari persoalan. Sang Buddha menganjurkan menikmati semua sebab akibat yang tejadi. Sang Buddha menganjurkan memilih kesesuaian untuk kemudahan.