Menjejak Buddhisme dalam Pekat Abu Kremasi
Gambar 1. Kremasi ada dalam ajaran Buddhisme? Bagaimana? (Sumber Gambar: https://www.reuters.com)
Kematian adalah suatu keniscayaan. Selayaknya jodoh dan rezeki, kematian merupakan hal yang tidak bisa kita duga. Tanpa mengenal jenis kelamin, status sosial, ras, kebangsaan, bahkan agama, kematian adalah elemen kehidupan yang tak bisa dikotak-kotakkan. Cepat atau lambat, tujuan hidup manusia yang sejati bisa dibilang adalah kematian.
Kematian pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam Buddhisme. Dalam pandangan Buddhisme, kematian memiliki kesamaan arti dengan akhir dari suatu penderitaan. Kematian menjadi jalan untuk memutus segala rasa sakit, kemalangan, kelahiran, dan penderitaan lainnya di dalam penghidupan. Kematian dalam agama Buddha ditentukan oleh faktor batin yang mencakup kesadaran sehingga bersifat memutus ikatan manusia dengan kondisi duniawi.
Secara garis besar, agama Buddha meyakini bahwa tubuh manusia terdiri atas zat yang ada di muka bumi, alam raya, air, udara, dan api. Kepercayaan ini bermuara pada visi bahwa kematian sesungguhnya dianggap sebagai suatu proses bagi roh untuk kembali ke asalnya. Dengan keyakinan tersebut, ketika jenazah lebih cepat hancur maka reinkarnasi akan lebih cepat sempurna dan proses percepatan ini salah satunya dilakukan melalui pembakaran.
Ajaran Buddha tidak pernah mewajibkan aturan untuk umatnya melakukan kremasi. Akan tetapi, ajaran Buddha mempercayai bahwa proses kremasi adalah cara memproses jenazah yang paling dianjurkan. Perabuan pun menjadi prioritas yang tinggi di dalam tradisi Buddhis, dimana Sang Buddha sendiri memaktubkan permintaan bagi siswanya, Ananda, agar jenazah Buddha dapat dikremasi.
Seperti yang tertuang dalam Maha Parinibbana Sutta, Buddha menjawab Ananda mengenai cara menghormati jenazah Sang Tathagata. Sang Buddha menyatakan bahwa cara yang dilakukan sama persis dengan menghormati seorang Raja Dunia (Cakkavatti). Penghormatan jenazah Raja Dunia dilakukan dengan menempatkan jenazahnya di sebuah peti pembuluh yang dicat meni sebanyak 2 kali, lalu ditempatkan di pembakaran yang dibangun dengan beraneka macam kayu wangi.
Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, keputusan kremasi dalam tradisi umat Buddha ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan India kuno yang memang terbiasa melakukan kremasi bagi para jenazah. Selain itu, keputusan tersebut juga didukung oleh keinginan Sang Buddha untuk meninggalkan relik. Relik merupakan sisa-sisa jasmani dalam wujud pecahan batu yang kecil. Cerita-cerita Buddhis banyak yang membabarkan bahwa umumnya para Buddha akan ‘mewariskan’ relik setelah diperabukan. Relik ini kemudian dapat dijadikan sebagai objek penghormatan para siswa Buddha yang belum bisa bertemu secara langsung dengan Buddha sehingga relik ini menjadi media untuk memunculkan kepercayaan dan keyakinan yang kuat dalam benak para siswa Buddha untuk belajar dan merealisasikan ajaran-ajaran Buddha.
Relik dan abu yang dihasilkan dari proses kremasi dipercaya dapat menggambarkan kehidupan orang tersebut semasa dia hidup. Umat Buddha dengan penghidupan yang baik diyakini menguarkan bau pengabuan dari hasil pembakaran yang harum dan tidak menyengat. Bahkan, reliknya akan berwujud serupa batu kristal yang beraneka warna. Hal sebaliknya akan terjadi pada seorang umat dengan penghidupan yang kurang baik. Meskipun tidak menjadi suatu keharusan bagi umat Buddha untuk melakukan kremasi, tradisi pengabuan ini harus dilestarikan sebagai tradisi kematian dalam Buddhisme yang juga membawa banyak dampak baik bagi lingkungan hidup di masa mendatang.
Gambar 2. Sepenggal motivasi untuk hari ini (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi)
Profil Penulis
Gary Neville, mahasiswa manajemen tahun kedua Universitas Gadjah Mada dan tim redaksi Eka-citta Kamadhis UGM 2021. Penerima penghargaan nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemenang pertama Festival Literasi Sekolah 2019 dan Penulis Terpilih dalam Festival Literasi Tangerang Selatan 2019 ini memulai dunia sastranya sejak 2018. Kini, ia berusaha memperluas zona nyaman dengan giat belajar dalam kepenulisan artikel ilmiah populer. Mari bersua suka bersama penulis melalui email garyneville.gar@gmail.com atau Instagram @nev_gary.
Referensi
Hanindita, M. S., 2018, ‘Festival Ceng Beng, Makna di Balik Bau Pembakaran Saat Kremasi’, diakses pada 20 Oktober 2021, dari https://dunia.tempo.co/read/1503463/ramai-pemilik-hewan-peliharaan-hong-kong-pakai-jasa-krematorium-hewan
Pannasiri, P., 2021, ‘Maha Parinibbana Sutta’, diakses pada 20 Oktober 2021, dari https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/maha-parinibbana-sutta/
Wirawan, D., 2020, ‘Setelah Meninggal Dunia, Umat Buddha Wajib Dikremasi?’ diakses pada 20 Oktober 2021, dari https://buddhazine.com/setelah-meninggal-dunia-umat-buddha-wajib-dikremasi/