Movie Discussion Night 2017

| By admin

Movie Discussion Night adalah program kerja dari bidang Dhamma dan Pendidikan yang dilaksanakan pada tanggal 16 November 2017 di Pusat Studi Pancasila. Film yang ditonton pada acara ini adalah Spring, Summer, Fall, Winter… and Spring. Film ini adalah pemenang Grand Bell Awards untuk kategori Best Film. Selain itu film ini juga merupakan sebuah sajian yang mengetengahkan ajaran-ajaran Buddhisme dalam kehidupan manusia. Dalam penceritaannya, film ini dibagi menjadi lima segmen sesuai dengan judulnya, yaitu Spring, summer, fall, winter, lalu berputar kembali ke spring.

Dimulai dari spring, diawal film ini akan menunjukkan kehidupan seorang biksu tua yang memiliki seorang murid yang masih kecil. Si biksu kecil ini adalah anak yang penuh semangat, polos dan selalu bergembira meski hidup dalam kesederhanaan dan dikelilingi alam saja. Tapi anak-anak tetaplah anak-anak yang ingin tahu dan suka bersenang-senang dan punya kenakalan. Suatu hari sang guru meleihat anak itu mengikatkan batu di tubuh ikan, katak dan ular. Sebagai hukuman atas perbuatan menyiksa tersebut, si anak harus juga memanggul batu di tubuhnya. Lalu segmen berganti ke summer dimana biksu kecil itu kini sudah remaja dan kuil tempat tinggal mereka kedatangan seorang ibu yang membawa anak wanitanya untuk berobat. Bagi sang biksu remaja, wanita adalah hal baru dalam hidupnya. Dan saat itu dia masihlah orang yang punya rasa penasaran tinggi dan kini sudah ditambah oleh dorongan nafsu yang membuatnya mulai mengenal cinta dan hubungan pria-wanita. Kemudian untuk fall, winter dan spring punya selisih timeline kira-kira 10 tahunan tiap segmen dan menceritakan bagaimana kehidupan sang biksu muda pasca pergi dari kuil. Begitu banyak pelajaran yang terkandung dalam film ini. Pondasi ceritanya adalah tentang sebuah circle of life dimana hidup akan selalu berputar dan kembali ke awal. Tentunya setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan mempunyai akibat sendiri yang mau tidak mau harus dirasakan oleh yang berbuat, karena hidup itu terus berputar dan nantinya akan kembali lagi seperti pada awalnya.

Mungkin ada begitu banyak pemaknaan dan metafora dalam film ini, dan ijinkan saya untuk sedikit membagi pemaknaan versi saya yang mungkin akan memiliki banyak perbedaan dan mungkin juga bukan pemaknaan yang dimaksud sang sutradara, tapi setidaknya ada yang bisa dipetik dari sebuah film, itulah hal terpenting. Selain mengenai perputaran hidup serta hukum karma, yang paling terasa dalam film ini adalah tentang fase hidup manusia khususnya laki-laki karena sentral cerita disini adalah tokoh laki-laki. Saat segmen segmen musim semi (spring) si biksu masihlah seorang anak kecil yang sedang tumbuh layaknya tumbuhan di musim semi. Dia mulai belajar akan kehidupan, istilahnya sebagai manusia ia baru mulai merekah di dunia. Kemudian saat musim panas (summer) adalah saat sang biksu telah tumbuh remaja dan tentunya punya jiwa dan nafsu yang bergejolak layaknya saat musim panas tiba. Nafsu tengah membuncah, seperti panasnya suasana kala itu.

Masa musim gugur (Fall) adalah saat dimana sang biksu muda itu tengah masuk kedalam masa tergelap dalam hidupnya. Jika diibaratkan mungkin hidupnya saat itu bagaikan daun kering yang berjatuhan di musim gugur, terlihat tidak indah saat menyentuh tanah, terasa telah mati dan hancur perasaan sang biksu muda kita ini. Lalu datanglah musim dingin (Winter) dimana biksu muda itu telah tumbuh menjadi pria dewasa yang berada dalam kesendirian yang begitu dingin menyayat, berusaha memaknai dan menebus kesalahan masa lalunya. Fase ini menunjukkan saat pria telah beranjak dewasa, lebih tenang dalam berbuat seperti salju yang perlahan turun. Lalu ditutup dengan kembali ke Spring disaat hidup juga telah mengalami perputaran lagi seperti diawal. Semua pasti akan menuai akibat dari karmanya masing-masing.