EC Article July Edition 2024

| By kamadhis.ukm

background

Stigmatisasi Perempuan di Film Yuni Akibat Budaya dan Nilai Patriarkis

PENDAHULUAN

Film Yuni disutradarai oleh Kamila Andini, tayang perdana di Indonesia pada 9 Desember 2021. Film ini mengangkat isu diskriminasi gender yang dialami sekumpulan perempuan di daerah Serang, Banten. Keunikan dalam pengemasan pesan berhasil mengantarkan film Yuni pada sejumlah penghargaan seperti Festival Film Internasional Toronto, lolos dalam seleksi Oscar 2020, memenangkan 14 nominasi Piala Citra di kategori Film Terbaik, dan Festival Asian World Film Festival 2021 (Usmanda, 2021). 

Film Yuni berfokus pada tokoh utama bernama Yuni yang besar bersama budaya patriarki. Yuni adalah seorang siswi pintar yang bermimpi untuk melanjutkan kuliah setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, menjelang kelulusan, impian Yuni terancam harus dikubur karena ada dua lamaran pernikahan untuknya. Dengan tekad yang kuat untuk melanjutkan kuliah, Yuni menolak lamaran tersebut. Tidak lama kemudian, Yuni kembali mendapatkan lamaran pernikahan ketiga. Alhasil, Yuni dan keluarganya merasakan tekanan sosial yang cukup besar. Di sisi lain, masyarakat Serang percaya bahwa perempuan yang menolak lamaran sebanyak dua kali akan sulit mendapatkan jodoh. Menurut mereka, menamatkan SMA sudah cukup bagi perempuan yang akhirnya akan berada di dapur, sumur, dan kasur. Pendidikan tinggi bukan lagi prioritas utama perempuan setelah lulus sekolah. 

Pandangan bahwa perempuan tidak boleh pilih-pilih dan harus tunduk, datang dari budaya dan nilai patriarkis yang mengakar kuat di masyarakat. Selain itu, perempuan juga dibatasi untuk mengejar pendidikan dan karier. Dengan demikian, stigma berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang membatasi ruang gerak perempuan sekaligus mengekang posisi mereka.

Gambar 1. Salah Satu Adegan dari Film Yuni (Sumber: grid.id)

PEMBAHASAN

Stigmatisasi Perempuan

Stigma adalah hasil dari budaya dan nilai patriarki. Kehadiran stigma membuat perempuan membatasi ruang dan aktivitasnya dalam menyuarakan suatu isu (Kurnianto, 2016). Film Yuni juga mengangkat berbagai isu perempuan seperti pernikahan dini, sistem pendidikan yang seksis, objektifikasi perempuan, dan stigma tak berdasar kepada perempuan sepanjang hidupnya. Bahkan, di tengah kemajuan zaman masih ada hukum dan aturan kuno yang terus menindas dan merusak perempuan. Film Yuni menunjukkan bahwa tidak hanya kelompok kelas bawah yang “bodoh” menegakkan aturan tersebut, tetapi pemerintah juga secara aktif mendorongnya. Melalui film Yuni, stigmatisasi diangkat ke permukaan secara apik dan simpatik dengan tujuan untuk memberikan teguran dan penyadaran bahwa Yuni adalah kita, perempuan-perempuan yang tertindas akibat konstruksi masyarakat terhadap budaya dan nilai patriarki.

Budaya dan Nilai Patriarki

Terlihat jelas dalam film perjuangan seorang remaja perempuan berprestasi yang berusaha melawan budaya dan nilai patriarki di lingkungan tempat tinggalnya. Budaya patriarki memiliki kontrol atas kekuatan, reproduksi, seksualitas, pergerakan, hak milik, dan sumber daya ekonomi perempuan. Seakan-akan budaya patriarki tidak terbantahkan dan tidak dapat diperdebatkan lagi karena berkaitan dengan kodrat dan kekuatan adikodrati. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender selalu memengaruhi kehidupan masyarakat karena budaya patriarki (Kurniawati, 2018).

Budaya dan nilai patriarki di lingkungan kolot membuat Yuni harus berhadapan dengan banyaknya aturan-aturan kaku dan batasan bagi perempuan. Hal tersebut membuat Yuni mengalami pergolakan batin untuk membuat keputusan sulit dalam hidupnya. Meskipun berada di tengah pilihan antara mitos masyarakat setempat dan mimpi melanjutkan kuliah, Yuni tetap menjadi sosok perempuan yang berani, tangguh, dan pantang menyerah.  

Pernikahan Dini

Pada salah satu adegan, diperlihatkan bahwa Tika yang belum genap berusia 17 baru saja melahirkan anak pertamanya berjenis kelamin laki-laki. Adegan ini berkaitan dengan pernikahan dini, yakni kehamilan tanpa rencana karena pernikahan dini. Setelah Tika melahirkan anak, suaminya malah pergi ke rumah orang tuanya dengan alasan ia tidak bisa tidur dengan tenang sejak anaknya lahir. Selain itu, Tika juga menceritakan kepada Yuni pengalaman melahirkan anak pertamanya yang begitu perih dan sakitnya ketika dijahit. Adegan ini bertujuan untuk memberikan informasi bahwa pernikahan dini sangat berdampak bagi perempuan dan merugikan perempuan. Sebab, pernikahan dini dilakukan tanpa persiapan matang dalam hal biologis maupun psikologis, hanya sebagai pemenuhan budaya di kalangan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kepatuhan dan konformitas, yakni adanya tekanan sosial untuk mematuhi atau menyesuaikan diri pada norma-norma kelompok.

Tes Keperawanan bagi Perempuan

Di awal film, sekolah Yuni kedatangan Wakil Bupati perempuan sehingga seluruh siswa sekolah berkumpul di aula. Alasan kedatangan Wakil Bupati adalah untuk mengumumkan akan dilakukan tes keperawanan bagi seluruh siswi di sekolah Yuni. Maraknya seks bebas dan tingginya angka kehamilan di kalangan pelajar menjadi latar belakang pengadaan tes ini sebagai efek jera. Di sini, nilai keperawanan seolah dangkal dan hanya menyudutkan kaum perempuan saja, padahal di aula juga ada siswa laki-laki. Hal ini sesuai dengan fokus utama persepsi dan perubahan sikap setelah diumumkan adanya tes keperawanan. Akan ada sikap mempertanyakan dan menggeneralisasi pandangan terhadap diri sendiri, kemudian direfleksikan di kehidupan sosial.

Pendidikan Perempuan

Dalam film Yuni, berbagai stigma terhadap perempuan banyak dimunculkan, misalnya tidak penting untuk sekolah tinggi-tinggi dan perempuan kerjanya di “dapur, sumur, kasur”. Hal ini berkaitan dengan fokus utama persuasi dan perubahan sikap bahwa Yuni hampir saja terpengaruh oleh kondisi masyarakat di lingkungan sekitarnya untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Gambar 2. Refleksi tentang Feminisme (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

KESIMPULAN

Akhir kata, film Yuni berusaha untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua orang mengalami permasalahan yang sama, berulang-ulang, dan tanpa ada penyelesaian. Film ini tidak hanya menceritakan perjuangan seorang remaja perempuan melawan stigmatisasi, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang kebebasan, pendidikan, dan hak-hak perempuan di Indonesia. Film ini juga menyoroti pentingnya memberikan ruang bagi perempuan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri tanpa harus tunduk pada tekanan sosial yang tidak adil.

Profil Penulis:

Felycia Devizca (18), seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Tertarik pada bidang jurnalistik, bedah buku, dan dunia kepenulisan. Terbuka untuk berdiskusi mengenai isu-isu kemasyarakatan yang aktual, seperti politik, pendidikan, sosial-budaya, lingkungan, HAM, dan gender. Penulis dapat dihubungi melalui https://www.linkedin.com/in/felyciadevizca atau https://www.instagram.com/felyciadevizca.

Referensi

Kurnianto, E. A., 2016. Resistensi perempuan terhadap wacana ratu rumah tangga dalam cerpen Intan Paramaditha. dari Atavisme, 19(1), 88–101.

Kurniawati, D., 2018. Perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki dalam cerpen-cerpen Kalimantan Timur. dari LOA: Jurnal Ketatabahasaan Dan Kesusastraan, 13(1), 50–56.
Usmanda, Y., 2021, Review Film Yuni, diakses pada 14 Juli 2024, dari https://kincir.com/movie/cinema/review-film-yuni-fbucw4ifimus/