EC Article August Edition 2024

| By kamadhis.ukm

background

Exploring MBTI: Pseudoscience or Psychological Insight

Percaya sama zodiak atau shio emang masih jaman di 2024? 

Eits, perdebatan tentang hal-hal yang tergolong pseudoscience seperti di atas memang tidak akan ada ujungnya dan cuma buang-buang waktu loh! Lebih baik percaya yang lebih scientific seperti MBTI. Toh, MBTI juga viral dan banyak orang yang merasa cocok dengan dengan test tersebut. Tetapi tahukah kalian bahwa MBTI sendiri merupakan pseudoscience, bahkan salah besar digunakan sebagai tools dalam seleksi penerimaan kerja ataupun organisasi karena tidak valid. Kenapa bisa begitu? Yuk kita bahas tuntas pada kesempatan kali ini!

Gambar 1. Apa itu MBTI? (Sumber gambar: bfi.co.id)

Pertama-tama kita harus sepaham dulu nih tentang pseudoscience atau ilmu semu itu sendiri, pseudoscience adalah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah, tetapi tidak memenuhi standar ilmiah yang diterima. Ini berarti klaim-klaim dalam pseudoscience tampak masuk akal dan seringkali disajikan dengan bahasa ilmiah, namun sulit atau tidak mungkin diuji kebenarannya melalui metode ilmiah yang valid. Jadi tidak hanya astrologi yang mempercayai pergerakan benda-benda langit dapat mempengaruhi nasib kita, tetapi juga teori konspirasi, pengobatan alternatif tanpa bukti, kreasionisme dan analisis kepribadian berdasarkan kuisioner atau yang kita kenal seperti MBTI dan enneagram kepribadian. 

MBTI atau istilah yang sudah tidak asing di benak kita ini memiliki kepanjangan Myers-Brigg Type Indicator, yaitu tes kepribadian untuk mengukur kepribadian seseorang, seperti caranya melihat dunia maupun mengambil keputusan. Fun-fact tes ini dikembangkan oleh ibu dan anak bernama Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers. Tes kepribadian ini dikembangkan berdasarkan teori kepribadian yang sebelumnya diungkapkan oleh Carl Jung, yaitu tipe introvert dan extrovert. Perkembangan ini mengelompokan kepribadian menjadi empat kategori utama sebagai berikut : 

  • Ekstroversi (E) vs. Introversi (I): Menggambarkan bagaimana seseorang memperoleh energi, apakah dari interaksi sosial atau dari me time.
  • Penginderaan (S) vs. Intuisi (N): Menggambarkan bagaimana seseorang memproses informasi, yaitu dengan fakta dan detail yang nyata atau melalui pola dan konsep yang lebih abstrak.
  • Berpikir (T) vs. Perasaan (F): Menggambarkan bagaimana seseorang membuat keputusan, apakah berdasarkan logika dan objektivitas atau berdasarkan pengalaman pribadi yang dianut dan empati.
  • Penilaian (J) vs. Persepsi (P): Menggambarkan bagaimana seseorang mengatur hidupnya, apakah dengan perencanaan yang terstruktur atau dengan pola hidup yang fleksibel dan spontan.

Banyak hal yang bisa diketahui lebih lanjut setelah mengetahui jenis MBTI kita. Seperti cara kita berpikir, mengambil keputusan, berkomunikasi dan juga potensi personal growth yang kita miliki. Bahkan, MBTI juga digunakan untuk melihat jenis pekerjaan apa yang sesuai dengan kepribadian seseorang. Kini, tak jarang jika MBTI dijadikan identitas diri yang dibangga-banggakan dan indikator kecocokan ketika sedang bersosialisasi karena adanya kesamaan dalam cara berpikir, nilai-nilai, dan gaya komunikasi. Secara alami, kesamaan dalam cara berpikir dan pengambilan keputusan dapat meningkatkan kecocokan mereka. Hal ini dikarenakan mereka cenderung lebih mudah memahami cara berpikir satu sama lain dan juga lebih mudah mencapai kesepakatan karena memprioritaskan hal yang sama.Tetapi namanya hidup tidak selalu berbicara tentang logika, orang-orang yang memiliki kesamaan nilai dan juga gaya hidup seperti cara mereka menyusun rencana atau menghadapi perubahan, bisa saling melengkapi satu sama lain. Kadang-kadang, kecocokan muncul ketika ada keseimbangan antara kekuatan dan kelemahan di antara dua tipe. Misalnya, seorang yang cenderung berpikir analitis (T) bisa cocok dengan seseorang yang lebih berfokus pada perasaan (F) karena mereka dapat saling melengkapi dan memberikan perspektif yang berbeda dalam situasi tertentu. Terakhir, perdebatan tentang tipe-tipe yang memiliki preferensi yang sama yaitu si extrovert dan si introvert, mereka yang cenderung memiliki gaya komunikasi yang sama akan memperdalam interaksi satu sama lain atau satu frekuensi sehingga dapat meningkatkan kecocokan.

Gambar 2. Quotes Hari ini (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)

Tak dapat dipungkiri, kecocokan MBTI bisa terjadi baik secara alami maupun dipengaruhi oleh bias yang kita buat-buat. Ada elemen bias yang bisa membuat kita melihat kecocokan tersebut sebagai sesuatu yang lebih kuat atau terlalu dibuat-buat, terutama jika kita terlalu fokus pada label MBTI. Dalam psikologi, peristiwa ini disebut dengan Barnum Effect (Faradiba, 2021). Barnum Effect adalah kecenderungan orang untuk menerima deskripsi kepribadian yang umum sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk mereka, padahal deskripsi tersebut bisa berlaku untuk banyak orang. Contoh ketika seseorang mengetahui tipe MBTI mereka dan pasangannya, mereka mungkin mencari atau menafsirkan informasi yang sesuai dengan harapan mereka tentang kecocokan tersebut dan bukan berdasarkan kenyataannya. Bias ini dapat muncul akibat terdapat pengaruh sosial dan ekspektasi dari MBTI tertentu, terkadang mengetahui tipe MBTI orang lain dapat mempengaruhi cara kita berinteraksi satu sama lain. Jika kita percaya bahwa tipe tertentu harus cocok dengan kita, mungkin tanpa sadar kita akan berusaha menyesuaikan diri agar lebih cocok, menciptakan kecocokan yang sebenarnya berdasarkan ekspektasi, bukan kecocokan yang benar-benar alami.

Meskipun MBTI memiliki daya tarik sebagai alat untuk memahami diri dan orang lain, penting untuk tetap kritis dan menyadari keterbatasannya. Kita harus tetap bersikap terbuka dengan kompleksitas kepribadian manusia daripada mengkotak-kotakkan menjadi 16 jenis kepribadian yang sangat sempit. Gunakan MBTI sebagai alat yang dapat membantu kita untuk lebih mudah mengenal diri sendiri, daripada membuat ekspektasi yang mengada-ada tentang seseorang. Oleh karena itu, sebaiknya jangan menganggap MBTI sebagai satu-satunya alat dalam menilai, terutama dalam konteks penting seperti seleksi kerja atau hubungan, karena bisa saja hal tersebut tidak valid dan menyesatkan.

Daftar Pustaka

Faradiba, A. T., Kistyanti, N. M. R., Maulidina, F., & Indriani, R. , 2021, Barnum Effect pada Kepribadian Lima Faktor,  dari Jurnal Ilmiah Psikologi MIND SET, 1(01), 96-104.

Profil Penulis:

Lorencia Permata Tjahyadi (18), seorang mahasiswi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada yang antusias di bidang kepenulisan berbau non-fiksi. Saya sangat tertarik mengenai isu-isu pengembangan diri, psikologi, teknologi, pendidikan, dan lingkungan. Penulis dapat dihubungi melalui : 

https://www.linkedin.com/in/lorencia-permata-tjahyadi-6764062b2/

https://www.instagram.com/lorenciap_?igsh=MTA4eHV4cXZnOWd1bg%3D%3D