Tren Tumbler: Pahlawan Lingkungan atau Hanya Pahlawan Kesiangan?
Ericha Mellyana
“Sustainability,” istilah populer yang diperbincangkan masyarakat. Artinya berkelanjutan, layaknya sebuah investasi: menanam benih hari ini agar generasi mendatang bisa menikmati hasilnya. Sebuah bentuk simbiosis mutualisme, bermanfaat pada masa kini maupun masa mendatang. Secara khusus terbagi menjadi tiga, yaitu aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Nah, pada EC-Today hari ini akan fokus membahas bidang lingkungan.
Kita ketahui bersama bahwa di Indonesia, bahkan dunia, kerusakan lingkungan tidak henti-hentinya terjadi. Mulai dari pemanasan global, degradasi lahan, hingga pencemaran lingkungan akibat sampah. Dilansir dari Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah nasional pada tahun 2023 mencapai angka 31,9 juta ton. Bahkan, 35,67% dari total keseluruhan (11,3 juta ton) tidak terkelola dengan baik.
Berbagai elemen masyarakat menggaung-gaungkan berbagai langkah mengelola sekaligus meminimalisir sampah. Hal ini berkaitan pula dengan massalnya penggunaan sosial media—isu ini juga giat berdengung pada tren kekinian, seperti aksi membersihkan pantai yang dipelopori Pandawara Group hingga berkeliarannya tren penggunaan tumbler dalam mengurangi botol sekali pakai. Yup, tumbler! Sebuah wadah minuman yang mudah dibawa kemana saja.
Sejak dahulu kita mengenal berbagai wadah, tetapi esensi utamanya yaitu pada fungsinya yang mampu menyimpan makanan maupun minuman. Kini, esensinya diperlebar melalui fungsinya sebagai sebuah langkah nyata dalam mengurangi sampah plastik. Masyarakat, terutama anak muda, kian aktif mendeklarasikan penggunaan tumbler setelah banyak tren yang beredar atas merek-merek mahal yang ada, seperti Corkcicle, LocknLock, Stanley, Owala, dan masih banyak lagi.
Dengan adanya citra positif sebagai produk yang ramah lingkungan, banyak merek mengeluarkan koleksi desain yang bisa digunakan kembali sehingga tidak hanya mengurangi dampak kerusakan pada bumi, tetapi juga tetap modis. Tren ini patut diapresiasi dan sesungguhnya salah satu langkah tepat dalam mengurangi sampah sekali pakai yang semakin menggunung setiap harinya. Kesadaran masyarakat pun kini kian meningkat. Namun, apakah tren ini 100% menjadi langkah yang tepat? Sesungguhnya tidak. Lagipula, apakah kita sebagai konsumen telah benar-benar memahami konsep keberlanjutan atau hanya terbawa arus tren semata?
Berbanding terbalik dengan citranya sebagai produk ramah lingkungan, berbagai merek tumbler juga mengeluarkan koleksinya yang menyebabkan masyarakat merasa FOMO (fear of missing out), dan berbondong-bondong membeli agar tidak ketinggalan zaman. Padahal, secara fungsional, satu tumbler saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perilaku ini menunjukkan bagaimana tren, yang awalnya bermaksud baik, dapat disalahgunakan untuk tujuan komersial. Produsen dengan cerdik memanfaatkan keinginan konsumen untuk tampil beda dan mengikuti tren terkini, sehingga memicu produksi massal tumbler dengan desain yang beragam. Fenomena konsumerisme ini telah disalahgunakan. Ironisnya, bukannya mengurangi masalah, justru menjadi memperkeruh masalah lama dengan mode baru.
Tren membawa tumbler memang menawarkan solusi yang menarik untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Namun, penting untuk tidak terjebak dalam ilusi bahwa penggunaan tumbler menjadikan kita sebagai individu yang sangat ramah lingkungan. Buka penglihatan secara lebih luas akan dampak lingkungan yang diciptakan. Di balik pesonanya, muncul pertanyaan mendasar: Apakah ini sebuah langkah maju menuju gaya hidup modern berkelanjutan, atau hanya tren pemborosan belaka? Keputusan sepenuhnya berada di tangan masing-masing individu. Penting bagi kita untuk bijaksana dalam memilih dan menggunakannya. Tanyakan pada diri Anda, apakah kita benar-benar membutuhkan puluhan tumbler dengan desain berbeda? Ataukah cukup satu atau dua tumbler berkualitas yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama?
Keberlanjutan bukan hanya tentang memiliki produk ramah lingkungan, tetapi juga tentang penggunaan yang bertanggung jawab. Jadilah konsumen yang bijak dengan selalu menimbang dampak lingkungan dari setiap keputusan yang kita ambil tanpa terbuai dengan promosi lihai para produsen.
Profil Penulis:
Ericha Mellyana, mahasiswi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang memiliki ketertarikan pada bidang ekonomi, budaya, dan lingkungan. Temui penulis melalui instagram @erichamellyana
Referensi:
Amartha, 2024, Apa Itu Sustainability? Berikut Pengertian dan Contoh Penerapannya, diakses 5 Agustus 2024, melalui https://amartha.com/en/blog/pendana/lifestyle/apa-itu-sustainability-pengertian-dan-contoh-penerapan/
Badan Riset dan Inovasi Nasional, 2024, 11,3 Juta Ton Sampah di Indonesia Tidak Terkelola dengan Baik, diakses 5 Agustus 2024, melalui https://brin.go.id/drid/posts/kabar/113-juta-ton-sampah-di-indonesia-tidak-terkelola-dengan-baik#
Christiaan, 2024, Balada Tumbler, diakses 5 Agustus 2024, melalui https://kumparan.com/christian-constant/balada-tumbler-23FlbWUQlJF/4Pratama, F. N, 2024, VOXPOP: Fenomena Tumbler Mahal, Gaya Hidup atau Pemborosan?, diakses 5 Agustus 2024, melalui https://rri.co.id/index.php/opini/791634/voxpop-fenomena-tumbler-mahal-gaya-hidup-atau-pemborosan