EC Article July Edition

| By kamadhis.ukm

background

Pandemi Masih Belum Berakhir, Sebenarnya Kita Perlu Bagaimana?

Gambar 1. Ingin pandemi segara berlalu, tapi bisa apa kita? (Sumber Gambar: https://www.thejakartapost.com/)

PPKM yang mulai berlaku pada tanggal 12 Juli 2021 silam kini telah diperpanjang hingga tanggal 25 Juli 2021. Keputusan ini tentunya menjadi konfirmasi yang jelas bahwa tren peningkatan kasus COVID-19 akhir-akhir ini memang masih sangat mengkhawatirkan. Apalagi COVID-19 varian Delta yang penyebarannya sangat cepat menjadi motor utama dalam gelombang kasus kali ini.

Adapun pemberlakuan PPKM yang membatasi ruang gerak masyarakat menerapkan aturan-aturan seperti WFH 100% bagi perkantoran nonesensial, WFH 50% bagi perkantoran esensial, kegiatan belajar mengajar di sekolah yang berbasis daring atau tidak tatap muka, hingga kegiatan ibadah yang tak mengundang umat dalam berkerumum. Pusat-pusat perbelanjaan pun ditutup dengan pengecualian swalayan, supermarket, dan restoran. Para pedagang kecil atau kaki lima juga hanya boleh berjualan hingga pukul 8 malam. PPKM juga melarang masyarakat untuk melakukan resepsi pernikahan.

Ya, memang segala aturan dan ketentuan yang dimuat dalam PPKM bertujuan baik untuk meredam penyebaran virus, terutama ketika pelonjakan kasus yang tajam belakangan ini membuat fasilitas kesehatan kewalahan. Tetapi, banyak kita lihat di berbagai berita maupun unggahan media sosial yang menunjukkan bahwa PPKM mengundang berbagai keluhan dan protes dari masyarakat, terutama kalangan ekonomi rendah. Memangnya selain PPKM, tidak ada cara lain ya untuk menaggulangi COVID-19?

Selain menjalankan PPKM, solusi penanganan COVID-19 tak lain adalah dengan terus menggencarkan vaksinasi. Sayangnya, hingga saat ini, vaksinasi di Indonesia baru mencapai angka 15% total penduduk melalui pengadaan dosis pertama, sedangkan target yang perlu dicapai untuk menetapkan herd immunity adalah sebesar 70%. Gambaran perbedaan angka ini saja sudah menunjukkan betapa sulitnya mewujudkan herd immunity, pun lagi ketika dukungan dari masyarakat akan vaksin justru berbunyi negatif. Diperkirakan bahwa sekitar 33% masyarakat Indonesia menolak atau meragukan vaksinasi, bahkan mirisnya adalah angka tersebut didominasi oleh kalangan pendidikan tinggi.

Keraguan masyarakat tak lain lahir dari banyaknya giringan opini melalui konspirasi dan cerita-cerita yang beredar. Cerita-cerita ini banyak yang sifatnya menurunkan legitimasi pemerintah serta kemudian vaksinasi COVID-19 sendiri itu pula. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu memperoleh cap negatif yang seakan menggambarkan selalu ada agenda yang dijalankan di balik layar. Sebagai contoh, baru-baru ini beredar viral dr. Louis yang seolah menjadi kiblat konspirasi dengan reaksi beliau yang menolak mempercayai adanya COVID-19 dan mengatakan kasus orang meninggal yang sedang masif saat ini adalah karena komplikasi antar obat. Padahal Surat Tanda Registrasi (STR) dokter beliau telah tidak aktif sejak tahun 2017, namun sayang gelar yang disandangnya membuat banyak masyarakat menjadi percaya. Namun, sejatinya pun tidak begitu masalah jika masyarakat percaya atau tidak akan COVID-19, asalkan aturan protokol kesehatan yang diberlakukan ditaati sebagai bentuk kewajiban sebagai warga negara.

Dalam berbagai ajaran agama, termasuk agama Buddha, kontribusi tiap orang dalam menghambat atau menghentikan pandemi atau wabah penyakit yang merupakan bentuk bencana bagi umat manusia merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan bersama. Dalam Ratana Sutta dituliskan bahwa pada zaman Sang Buddha pernah terjadi wabah yang melanda kota Vesali. Wabah tersebut memakan banyak korban. Hingga akhirnya wabah terhenti karena peran Bhikku Ananda yang mengelilingi kota membacakan Ratana Sutta sambal memercikkan air. Menurut Ketua Dewan Sangha Walubi, Maha Bhiksu Dutavira Mahastavira, pesan moral yang juga diajarkan dalam kisah itu adalah bahwa hidup jangan mencari kesenangan, melainkan hidup untuk jangan menjadi susah. Hindari euforia kesenangan karena bisa mengakibatkan moha atau perbuatan bodoh.

Sama seperti halnya dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini: janganlah membiarkan kesenangan diri atau golongan semata membawa diri pada perbuatan bodoh yang justru malah semakin mendukung penyebaran virus. Tetap berdiam di rumah kawan-kawan!

Gambar 2. Sepenggal motivasi untuk hari ini (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi)

Profil Penulis:

Randy Arfian, seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada yang juga tergabung sebagai staf Tim Redaksi Eka-citta. Seorang penulis biasa yang tertarik dengan ilmu politik dan Agama Buddha. Penulis dapat dihubungi lewat email randy.arfian908@mail.ugm.ac.id atau Instagram @randyarfian02

Referensi:

CNN Indonesia, 2021, ‘Ajaran Moral Tentang Pandemi dalam Agama di Indonesia’, diakses pada 20 Juli 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20201213163258-282-581567/ajaran-moral-tentang-pandemi-dalam-agama-di-indonesia

Detiknews, 2021, ‘Bikin Kontroversi ‘COVID Bukan Virus’ Dokter Louis Bakal Dipolisikan’, diakses pada 20 Juli 2021, dari https://www.google.com/amp/s/news.detik.com/berita/d-5639966/bikin-kontroversi-covid-bukan-virus-dokter-lois-bakal-dipolisikan/amp CNN Indonesia, 2021, ‘PPKM Darurat Diperpanjang, Pemerintah Terbitkan Dua Aturan’, diakses pada 20 Juli 2021, dari https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20210721071205-20-670080/ppkm-darurat-diperpanjang-pemerintah-terbitkan-dua-aturan/amp