Sibuk Kerja, Lupa Diri
“Aduh! Harga BBM naik, nih.”
“Kebutuhan pokok harian harganya selangit.”
Beberapa waktu lalu, negara kita sedang dihebohkan dengan isu kenaikan harga kebutuhan. Mulai dari kebutuhan pokok hingga sekunder. Meningkatnya jumlah pengeluaran, tentunya membuat kita berusaha untuk memperbesar pemasukan juga. Jangan sampai menjadi “besar pasak daripada tiang”. Salah satu usaha untuk mewujudkannya yaitu dengan bekerja lebih keras dari biasanya. Namun, ternyata ada orang yang semua kebutuhannya sudah terpenuhi, tetapi dia tetap bekerja keras karena merasa “kecanduan” kerja, loh! Mereka sering disebut workaholic. Beberapa orang menganggap bahwa pekerjaan adalah sebuah beban, tetapi seorang workaholic menganggap kerja adalah hobinya.
Apa itu workaholic? Apakah dia berbahaya atau malah bermanfaat, sih? Mari kita bahas hal itu satu per satu.
Kata workaholic diciptakan Wayne Oates, seorang menteri dan psikolog, pada tahun 1971 yang berarti paksaan atau kebutuhan yang tidak terkendali untuk bekerja tanpa henti. Namun, seiring berkembangnya zaman, workaholic lebih dikenal dengan pecandu kerja. Penelitian menemukan bahwa 7,8% penduduk di dunia ini tergolong dalam kategori workaholic. Orang-orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dan memanfaatkannya untuk mengurangi rasa bersalah dan cemas akan masalah tertentu dan tidak jarang juga mereka meninggalkan hobi, olahraga, dan hubungannya dengan orang-orang terdekat.
Dalam bahasa Indonesia, workaholic berarti pecandu kerja. Wah, ada kata pecandu serem abis. Jangan-jangan mereka mengalami suatu gangguan medis! Ternyata, walaupun menggunakan kata ‘pecandu’, tetapi pecandu kerja tidak termasuk di dalam kondisi medis atau gangguan jiwa karena tidak tercantum di dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa), yang merupakan standar gangguan kejiwaan dalam dunia tenaga kesehatan jiwa di berbagai belahan dunia.
Apakah ada hal positif yang bisa kita ambil? Hal yang terjadi pada diri kita tentunya bisa dilihat dari dua sudut pandang berbeda. Begitupun workaholic bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, seorang workaholic akan mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Selain itu, mereka juga menjadi lebih produktif dibanding pekerja lain.
Masalah yang dapat timbul contohnya kecanduan kerja karena didorong oleh paksaan dan bukan karena rasa dedikasi pada pekerjaan secara wajar. Orang yang kecanduan bekerja mungkin sangat tidak senang dan menderita karena bekerja, mereka juga mungkin terlalu memikirkan pekerjaan dan tidak dapat mengendalikan keinginan mereka untuk bekerja. Dengan habisnya banyak waktu dan energi mereka pada pekerjaan, hal ini berkemungkinan besar membuat aktivitas di luar pekerjaan mereka terganggu. Seorang workaholic cenderung mempunyai sifat yang perfectionist sehingga semua hal yang dikerjakan harus sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Sekali saja tidak sesuai, mereka akan mengutuki dan menyalahkan diri sendiri.
Kalau begitu, ciri-ciri orang yang workaholic itu seperti apa sih? Berikut ada beberapa ciri-ciri yang dapat kita kenali:
- Meningkatkan kesibukan tanpa adanya peningkatan produktivitas,
- Memiliki obsesi untuk bekerja lebih banyak, lebih lama dan juga lebih sibuk,
- Menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja daripada yang diinginkan,
- Bekerja berlebihan untuk menjaga harga diri, dan
- Bekerja untuk mengurangi perasaan bersalah, depresi, cemas atau putus asa.
Setelah memahami dan mengerti ciri-ciri workaholic, apakah #SobatkECe jadi lebih paham? Bagaimana cara menghadapi apabila kita mempunyai ciri-ciri di atas? Cara yang paling dasar adalah istirahat dan mencoba untuk memahami perasaan sendiri. Namun, jika teman-teman masih merasa kurang, teman-teman bisa melakukan konseling dengan psikolog atau terapis agar dapat mengendalikan hasrat bekerja teman-teman. Ingat kata Sang Buddha, “Mereka yang terpengaruh nafsu indria akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Namun, para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.” Lalu, menurut teman-teman, workaholic sebenarnya lebih bermanfaat atau malah sangat merugikan?
Profil Penulis:
Peter Suramin, seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada yang sudah memiliki beberapa pengalaman dalam dunia kepenulisan. Namun, masih dalam proses belajar sehingga bergabung ke dalam Tim Redaksi Eka-citta. Penulis dapat dihubungi melalui email peter.sur2003@mail.ugm.ac.id atau instagram @parkchris21.
Referensi:
Clark, M. A., 2016, Workaholism: It’s Not Just Long Hours on The Job, diakses pada 23 Juni 2022 melalui https://www.apa.org/science/about/psa/2016/04/workaholism.
Iswandiari, J., 2021, Workaholic: Normal atau Tidak dan Seperti Apa Ciri-cirinya?, diakses pada 4 Juni 2022 melalui https://hellosehat.com/mental/kecanduan/ciri-ciri-pecandu-kerja-workaholic/.
Jurnal.id, 2022, Hati-Hati Budaya Workaholic!, diakses pada 23 Juni 2022 melalui https://www.jurnal.id/id/blog/hati-hati-budaya-workaholic/.