Mimpi Gelap dalam Pernikahan: Intimitas Menjadi Teror
“Pemerkosaan dalam pernikahan” bagi sebagian orang, mungkin istilah ini masih terdengar asing, bahkan aneh. “Bagaimana bisa disebut pemerkosaan? Pasangan yang sudah menikah kan sudah sah untuk berhubungan badan!” Apakah pemikiran seperti itu pernah terbesit di pikiran kalian? Disini, kita akan bahas lebih lanjut mengenai pemerkosaan dalam pernikahan/marital rape.
Istilah marital rape pertama kali dikenal melalui pernyataan hukum Sir Matthew Hale, seorang ketua pengadilan di Inggris, dalam karya berjudul “History of the Pleas of the Crown” yang diterbitkan pada tahun 1736. Di dalam karya tersebut, Hale membahas berbagai aspek hukum, termasuk kejahatan seksual. Ia menyatakan, “suami tidak bisa dinyatakan bersalah atas tuduhan pemerkosaan kepada istri sahnya. Hal ini disebabkan oleh persetujuan dan perjanjian yang telah diberikan oleh seorang istri kepada sang suami ketika menikah, dan sifatnya tidak bisa ditarik.”
Pemerkosaan terjadi apabila seseorang memaksa orang lain untuk berhubungan seksual di luar keinginan mereka. Melalui pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa marital rape adalah pemerkosaan, yang mana salah satu dari pasangan suami-istri memaksa untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan pasangannya. Hal ini termasuk dalam kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang meliputi:
- Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangganya, dengan cara:
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.
- Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
- pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan
- pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Di Indonesia, kasus pemerkosaan dalam pernikahan juga masih banyak terjadi. Komisi Nasional Perempuan melalui Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019 mencatat bahwa terdapat 195 kasus pemerkosaan dalam pernikahan yang dilaporkan. Angka tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah sebanyak 172 kasus. Persitiwa ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dari dalam diri korban bahwa paksaan untuk berhubungan seksual dalam pernikahan dapat ditindaklanjuti ke proses hukum.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, maraknya kasus pemerkosaan dalam pernikahan diakibatkan oleh patriarki dan stereotipe yang melekat pada gender. Beliau mengatakan, “dalam struktur masyarakat kita ada nilai patriarki yang membangun cara berpikir dan cara kita bersikap. Bahwa istri harus melayani kebutuhan suami, penolakan istri untuk memberikan layanan seksual dinilai sebagai dosa atau durhaka. Hal ini juga ditambah dengan stereotipe atas peran gender berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki distereotipekan sebagai kuat, agresif, atau aktif. Sedangkan perempuan harus menurut dan pasif. Karena stereotipe dan nilai-nilai yang ditanamkan itu, ditambah minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan hak seksual, suami bisa berpikir dan beranggapan bahwa memaksa istri berhubungan seksual itu tidak masalah. Sebab, fungsi istri adalah untuk melayaninya.” Pandangan seperti itu menyebabkan seringkali pihak perempuan yang menjadi korban dalam kasus marital rape.
Mari kita tinjau penyebab terjadinya kasus marital rape melalui putusan berikut. Kasus dengan nomor putusan 912/Pid/B/2011/PN.Bgl terjadi kepada sepasang suami-istri, yakni HAP sebagai pelaku/suami dan SW sebagai korban/istri. Mereka sudah sering bertengkar karena SW merasa tidak dinafkahi dengan layak. Pada hari kejadian, pelaku menjemput paksa korban dari tempat kerjanya, lalu membawa korban ke daerah hutan yang bertebing dan memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Akan tetapi, korban menolak, sehingga pelaku marah dan akhirnya memperkosa korban. Kemudian, dalam persidangan, hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada HAP selama satu tahun tiga bulan karena telah terbukti secara sah bersalah dalam melakukan kekerasan seksual kepada istrinya dan menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya. Korban dijerat dengan Pasal 46 dan Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Hukum pidana pelaku pemerkosaan dalam pernikahan dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelaku marital rape dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang dicantumkan pada Pasal 6 huruf (c), yaitu “setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Selain melalui Undang-Undang, perubahan perspektif masyarakat mengenai gender juga diperlukan untuk menurunkan angka kasus pemerkosaan dalam pernikahan, yaitu pandangan bahwa perempuan bukanlah suatu objek seksual. Diharapkan dengan adanya perubahan tersebut, korban-korban marital rape menyadari akan tindakan yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri serta memiliki keberanian untuk melakukannya.
Referensi:
Adinda, P., 2021, Marital Rape: Menikah Bukan Kontrak Consent, diakses pada 31 Mei 2024, dari https://asumsi.co/post/58819/marital-rape-menikah-bukan-kontrak-consent/
Ngarti, S. A., 2023, Mengenal Istilah Marital Rape, Pemerkosaan dalam Rumah Tangga yang Sering Dipandang Sebelah Mata, diakses pada 31 Mei 2024, dari https://www.beautynesia.id/life/mengenal-istilah-marital-rape-pemerkosaan-dalam-rumah-tangga-yang-sering-dipandang-sebelah-mata/b-270933
Anjani, S., Sitepu, R., 2023, Analisis Pemerkosaan dalam Rumah Tangga (Marital Rape): Sebab, Modus Operandi, Perlindungan Hukum terhadap Korbannya dan Upaya Mengatasinya, diakses pada 31 Mei 2024, dari https://review-unes.com/index.php/law/article/view/779/548