Setiap Orang Ada Masanya, Setiap Masa Ada Orangnya
Hai #SobatkECe! Pernahkah #SobatkECe merasakan perpisahan? Atau mungkin, #SobatkECe merasa deja vu atas suatu momen? Pada EC-Today kali ini, kita akan membahas tentang sebuah siklus yang tidak dapat dihindari, yakni perpisahan. Bagaimana kita menanggapi kondisi tersebut?
Terdapat sebuah momen tak dapat dihindari. Jejak perjalanan yang kelam. Sebab semua mengalir begitu saja, tanpa kata bahwa semuanya telah berakhir. Situasi ini disebut perpisahan.
Perpisahan erat kaitannya dengan orang-orang terkasih yang menimbulkan perasaan kecewa, sedih, dan kehilangan. Perasaan tidak menyenangkan itu muncul akibat sebuah kemelekatan. Kemelekatan diartikan sebagai perasaan sukar untuk melepaskan sesuatu, yang mana diuraikan secara lebih rinci sebagai sebuah kondisi yang muncul akibat nafsu keinginan (tanha) yang bermula pada perasaan.
Perasaan gundah gulana ini menimbulkan penderitaan (dukkha). Menurut ajaran Buddha, berpisah dengan apa yang dicintai dan disayangi merupakan salah satu bentuk penderitaan yang dialami manusia. Kemelekatan tersebut menyebabkan kegelapan batin ketika harus terlepas begitu saja dari sesuatu yang berarti dari kita. Dalam Atthaloka Dhamma, Anguttara Nikaya VIII: 2 disebutkan terdapat delapan kondisi kehidupan yang membelenggu manusia sebelum keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) terhenti dengan merealisasi Nibbana. Salah satunya ialah tentang terkenal dan tidak dikenal.
Kondisi tersebut tidak semudah itu untuk dipahami dan diterapkan. Terdapat sebuah kalimat yang bisa menggambarkannya, yaitu “Setiap Orang Ada Masanya, Setiap Masa Ada Orangnya.” Ungkapan tersebut menggambarkan keikhlasan tentang sebuah perpisahan. Hal ini sulit dilakukan; dalam agama Buddha tergambar dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga) pada kelompok kebijaksanaan (Panna) atas unsur pandangan benar dan pikiran benar.
Pandangan benar atau sammāditthi diartikan sebagai bentuk pemahaman atas segala sesuatu secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai alasan yang terjadi. Terkait perpisahaan, diperlukan pemahaman bahwa ada sebab yang mendasari terjadinya ssuatu perpisahan, seperti melepas sesuatu yang membuat ketersinggungan batin. Selain tu, pikiran benar atau sammāsaṅkappa adalah suatu proses mental dengan harapan tanpa kekejaman/kekerasan, tidak membahayakan/memusuhi, dan terarah pada pelepasan keduniawian. Kondisi ini menggambarkan proses ikhlas tanpa rasa dendam dan benci.
Pemaparan tersebut menggambarkan bahwa nilai-nilai agama Buddha dapat menjadi langkah untuk bersikap ikhlas pada sebuah perpisahaan. Maka, sudahi galau berkepanjangan dan mulai lembaran baru untuk sesuatu yang lebih indah. ^^
Ericha Mellyana, mahasiswi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang memiliki ketertarikan pada bidang ekonomi, budaya, dan lingkungan. Temui penulis melalui instagram @erichamellyana
Referensi:
Rahula, W. S., Jalan Mulia Berunsur Delapan, diakses 23 Februari 2024, melalui https://tricycle-org.translate.goog/magazine/noble-eightfoldpath/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
Ubeysekara, Ari, 2021, Delapan Kondisi Duniawi: Astha Loka Dhamma Dalam Buddhisme Theravada, diakses 23 Februari 2024, melalui https://drarisworld-wordpress-com.translate.goog/2021/05/05/the-eight-worldly-conditions-ashta-loka-dhamma-in-theravada-buddhism/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc.
http://sasanasubhasita.org/berita-18-dimanakah-kemelekatan-itu-berada–rm-deny-vangsapalo.html