Overthinking Hanya Menyusahkan, Kata Sang Buddha. Mengapa Begitu?
Gambar 1. Berhenti Memikirkan Hal Tidak Penting (Sumber gambar: pixabay.com)
“Kalau aku buat ini, bagaimana tanggapan orang-orang ya?”
“Bagaimana ya kalau nanti aku gagal?”
“Bagaimana ya kalau di masa depan aku tidak bisa jadi apa-apa?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu pasti sering muncul di benak setiap manusia. Orang zaman sekarang sering menyebut peristiwa tersebut dengan overthinking. Apa sih sebenarnya overthinking itu? Overthinking merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu over dan thinking. Overthinking berarti berpikir berlebihan yang mana di suatu momen seseorang tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga menumbuhkan kecemasan dan kekhawatiran dalam dirinya sendiri. Overthinking ini merupakan suatu hal yang negatif. Orang yang mengalami overthinking cenderung akan menguras tenaga dan waktunya. Lebih lanjut, overthinking dalam kacamata kesehatan disinyalir menyebabkan otak menjadi aktif dalam memproduksi stimulus rasa takut dan cemas serta mengganggu sistem kognitif.
Dilihat dari sudut pandang Buddhisme, overthinking menjadi satu hal yang tidak bijaksana karena overthinking merupakan bentuk dari manusia yang tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Dalam Dhammapada, dituliskan bahwa Sang Buddha sering sekali membabarkan Dhamma mengenai pengendalian diri dan pikiran. Salah satu khotbah Sang Buddha perihal topik ini datang dari kisah seorang Bhikkhu yang bernama Cakkhupala. Beginilah ceritanya!
Alkisah, di kehidupan masa lampaunya, Bhikkhu Cakkhupala adalah seorang tabib. Dikisahkan bahwa suatu hari si tabib bertemu dengan seorang wanita yang matanya sakit. Tabib itu memberikan tawaran untuk menyembuhkan wanita tersebut, namun tabib meminta imbalan atas tawarannya. Tabib menanyakan apa yang bisa diberikan oleh wanita itu. Wanita kemudian menjawab bahwa ia bersama dengan anaknya akan menjadi pembantu dari tabib. Setelah memberikan janji tersebut, wanita kemudian diberikan obat dan dalam sekejap sembuh dari sakitnya. Namun, wanita itu merasa bahwa tabib tidak ramah sehingga ia tidak menepati janjinya. Ia berkata bahwa sakit matanya semakin parah. Sayangnya, tabib mengerti apa yang dipikirkan oleh wanita tersebut. Mengetahui tabiat buruk si wanita, tabib berpikir akan membuat ramuan agar mata wanita tersebut menjadi buta. Dibuatlah ramuan tersebut, kemudian diberinya pada si wanita yang langsung menggunakannya. Benar saja, dalam sekejap wanita itu menjadi buta. Di kehidupan selanjutnya, Bhikkhu Cakkhupala pun terlahir sebagai seorang yang buta.
Dalam akhir khotbahnya, Sang Buddha pun menyampaikan demikian:
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya.”
Cerita Bhikkhu Cakkhupala menunjukkan bahwa pikiran mempunyai pengaruh terhadap hidup kita. Oleh karena itu, manusia sebaiknya selalu mengendalikan pikiran agar terhindar dari pikiran buruk, sebab pikiran buruk hanya akan merugikan diri kita sendiri. Hal tersebut sama seperti overthinking. Saat seseorang mengalami overthinking, ia akan sulit mengendalikan pikirannya dan malah memikirkan hal-hal buruk yang belum tentu akan terjadi. Justru overthinking yang berlarut-larut dikhawatirkan malah akan membuat hal-hal negatif dipikirkan sungguh menjadi nyata.
Bagaimana kemudian cara menghindari overthinking? Hal yang utama adalah kita harus selalu memegang kendali kemudi pikiran kita sendiri, jangan justru pikiran yang mengemudikan kita. Di dalam Visuddhimagga, Sang Buddha membabarkan cara untuk mengendalikan diri, yaitu pengendalian diri melalui kemoralan, pengendalian diri melalui kesadaran pikiran, pengendalian diri melalui pandangan terang, pengendalian diri melalui kesabaran, dan pengendalian diri melalui usaha atau semangat.
Gambar 2. Sepenggal motivasi untuk hari ini (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi)
Yuk, buang jauh-jauh kebiasaan overthinking! Latihlah pengendalian diri dan pikiran agar hidup senantiasa bahagia, damai, dan sejahtera. Semoga kita semua bisa melewati semua hal dengan baik, ya!
Profil Penulis:
Dila Hargeliana Karitra, seorang mahasiswa Farmasi Universitas Gadjah Mada. Seorang mahasiswa biasa yang baru saja terjun di dunia kepenulisan dan berlatih menulis dengan bergabung ke dalam Tim Redaksi Eka-citta. Untuk info lebih lanjut mengenai penulis, dapat menghubungi email dilakaritra@mail.ugm.ac.id atau Instagram: @dilakaritra
Referensi:
Samaghi Phala, 2016, ‘Tabib dan Seorang Wanita’, diakses pada 30 April 2021, dari https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/tabib-dan-seorang-wanita/
Hadi, S.A., 2017, ‘How I Deal with Overthinking’, diakses pada 22 April 2021, dari https://gc.ukm.ugm.ac.id/2020/06/how-i-deal-with-overthinking/
Cattapiyo, 2015, ‘Pengendalian Diri’, diakses pada 30 April 2021, dari https://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=672