Buddhisme Memercayai Ramalan?
Siapa yang pernah mencari “ramalan percintaan zodiak” atau “ramalan zodiak bulan ini”? Kalau hasilnya bagus apa yang kamu rasakan? Senang dan berharap atau biasa saja? Sebaliknya, kalau hasilnya buruk apa yang kamu rasakan? Sedih dan kecewa atau biasa saja?
Mencuplik dari KBBI, ramalan adalah hasil meramal tentang nasib seseorang sangat jitu. Ramalan berasal dari kata ramal yang berarti pasir yang dipakai untuk melihat nasib atau mengetahui apa yang akan terjadi. Ramalan sudah terkenal sejak dahulu kala. Bahkan, saat Siddharta Gautama lahir pun Beliau diramalkan akan menjadi seorang Buddha. Apakah masih ingat bagaimana kejadian Siddharta Gautama diramalkan? Baiklah, mari kita sedikit mengingat peristiwa itu.
Saat lima hari setelah kelahiran Siddharta Gautama, Raja Suddhodana mengundang 108 peramal ke istana. Dikisahkan 100 peramal hanya berdiam karena tidak bisa meramalkan dan tujuh peramal berhasil meramalkan Siddharta Gautama akan menjadi seorang raja dunia atau menjadi seorang petapa. Namun, ada satu orang peramal bernama Koṇḍañña yang meramalkan Siddharta Gautama dengan pasti, yaitu menjadi seorang Buddha.
Waktu terus berjalan dan zaman telah berubah. Saat Siddharta Gautama telah mencapai penerangan sempurna, ternyata Beliau menyarankan kita untuk tidak memercayai ramalan. Hal ini disampaikan saat Beliau bertemu dengan seorang Brahmana yang merupakan seorang peramal pakaian. Suatu hari, pakaian Brahmana tersebut digigit oleh seekor tikus di bagian dada. Brahmana itu menyuruh anaknya untuk membuang pakaian tersebut karena dia percaya bahwa hal itu akan membawa kesialan. Saat sedang membuang pakaian, anaknya bertemu dengan Sang Buddha dan Beliau mengambil pakaian tersebut. Sambil membawa pakaian itu, Sang Buddha melaporkan kejadian yang baru saja terjadi kepada Sang Brahmana. Namun, Sang Brahmana malah menukar pakaian itu dengan pakaian yang baru dan mengatakan bahwa pakaian itu membawa petaka. Melihat kejadian tersebut, Sang Buddha lalu menjelaskan:
“Siapapun yang meninggalkan ramalan-ramalan, mimpi-mimpi, dan pertanda buruk, orang tersebut akan bebas dari ketakhayulan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan sampai akhir waktu.”
Selanjutnya di dalam Dhammapada 97, Sang Buddha membabarkan dhamma:
“Orang yang telah terbebas dari ketakhayulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (Nibbāna), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.”
Menurut penulis, ramalan bisa dijadikan sebagai motivasi maupun sebagai penghalau mara bahaya. Saat kita membaca ramalan yang positif, sebaiknya kita berdoa dan mengusahakan hal baik tersebut. Namun, jangan hanya mengandalkan ramalan karena saat gagal akhirnya hanya membuat kita kecewa karena ekspektasi yang setinggi langit. Saat membaca ramalan yang kurang baik, kita bisa mengambil langkah atau jalan lain agar terhindar. Namun, lupa dengan apa yang Sang Buddha jabarkan di atas, ya. Jangan lupa juga, kehidupan kita selalu berhubungan dengan apa yang kita tanam. Jadi saat ingin mendapatkan hal baik, tanamlah hal yang baik pula.
Jadi, bagaimana? Apakah kalian memercayai ramalan?
Profil Penulis:
Dila Hargeliana Karitra, seorang mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Seorang mahasiswa biasa yang baru saja terjun di dunia kepenulisan dan berlatih menulis dengan bergabung ke dalam Tim Redaksi Eka-citta. Penulis dapat dihubungi melalui email dilakaritra@mail.ugm.ac.id atau Instagram: @dilakaritra.
Referensi:
Bhikkhu Gunasilo, ‘Janganlah Percaya dengan Ketakhayulan’, diakses pada 25 Mei 2022 melalui https://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=401.
Chandra, W., ‘Sri Paññyavaro’, diakses pada 25 Mei 2022 melalui https://sanghatheravadaindonesia.or.id/index.php/component/content/article/27-blog/food-and-recipes/159-ramalan-dan-hidup-sekarang?Itemid=101.