EC-Article of the Month #11

| By admin

RISIKO: PELUANG ATAU PETAKA?

Oleh Luis Tanoto

Kita semua pasti pernah dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait suatu hal, apapun itu. Sebut saja, ketika seseorang harus memilih antara fokus penuh terhadap akademik perkuliahan di semester tua atau bergabung menjadi pengurus inti dari suatu organisasi. Hal pertama yang pasti terlintas di pikiran kita adalah “Apa itu gak terlalu berisiko ya? Kalo jadi pengurus, pasti kuliah keteteran. Tapi kalo gak ngambil kesempatan, rasanya sayang banget, padahal bisa ningkatin soft skills yang agak sulit didapat saat duduk di bangku kuliah.” Apa kata kunci yang ditemui pada kegelisahan seperti demikian? RISIKO. Jadi, sebenarnya apakah risiko itu? 

Pembahasan pada artikel kali ini akan lebih mengerucut kepada makna risiko. Jika kita mengambil makna dari KBBI, risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Melihat pengertian risiko yang mengarah pada sesuatu yang “negatif”, penulis meyakini bahwa sebagai besar orang beranggapan bahwa, “fix, risiko itu petaka dong berarti”. 

Harus diakui bahwa dalam era milenial saat ini, pemakaian kata risiko selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berbau negatif atau menganggu ataupun kata sejenisnya. Contoh paling mudahnya dapat dilihat pada penggunaan kosa kata risiko yang dikaitkan dengan apapun tindakan yang pada akhirnya dapat membawa akibat merugikan. Well, penulis tidak bisa menyalahkan orang-orang tersebut, toh, sesuai KBBI saja sudah terdengar sangat jelek. Tetapi, di artikel kali ini kita akan coba menelaah lebih jauh risiko sejauh sudut pandang dan penilaian penulis. 

Sebelum beranjak lebih jauh, jadi menurutmu risiko itu peluang atau petaka sih? Terima kasih atas jawabannya bagi kamu yang spontan menjawab dalam hati. Baik, mari kita bedah makna risiko bersama-sama berdasarkan pengalaman kita masing-masing. 

Kita mulai dari yang paling mudah, risiko sebagai petaka. Ini cukup gampang untuk ditelaah pastinya. Risiko ini lahir dari insting dari setiap orang terkait apa yang akan terjadi jika seseorang bertindak demikian. Sebut saja, jika kamu mendapat tawaran untuk bekerja sebagai pemberi makan hiu laut di konservasi laut misalnya, untuk masalah gaji cukup menggiurkan 1 milyar rupiah. Wow, menarik bukan? Uang seharga 1 milyar sebagai gaji kalau kamu mau menjadi pemberi makan hiu laut. Tapi, penulis yakin bahwa siapapun akan memikirkan berkali-kali terlebih dahulu sebelum menerima tawaran itu. Takut-takut nyawa kita menjadi taruhannya. Bisa jadi bukannya kita memberi makan hiu laut, tetapi kita yang menjadi konsumsi siang hari yang terik bagi mereka. Sekalipun pekerjaan tersebut tentunya memuat standar operasional keselamatan yang ketat, tapi tetap saja berpikir kemungkinan risiko juga harus menjadi pertimbangan. Disini kita melihat bahwa pikiran risiko ini muncul dari insting kita bahwa hiu laut merupakan binatang laut yang cukup mengerikan, bukan seperti ikan gurame yang kita makan. Tentunya, di kasus ini kita bisa kategorikan bahwa risiko bisa jadi merupakan suatu petaka besar.

Selanjutnya, mari kita bahas risiko sebagai suatu peluang. Mungkin di bagian ini akan terdengar aneh bukan? Mari kita sama-sama mencoba memandang risiko sebagai sesuatu hal yang positif. Anggap saja kamu merupakan seorang CEO perusahaan yang cukup besar dan terkenal di Indonesia. Kamu sudah cukup diketahui banyak perusahaan asing karena perusahaan anda produksinya sangat baik dan memiliki pegawai yang sangat terpilih. Perusahaan Anda juga sering memenangkan tender besar dari perusahaan lain. Wadidaw, keren bukan? Datanglah dimana ada sebuah perusahaan lain yang mengajak kerjasama dengan perusahaan anda, perusahaan tersebut cukup besar pula dan menawarkan suatu kontraprestasi yang menggiurkan. Perusahaan ini ingin membeli produk hasil perusahaan anda sebanyak 1 juta buah dalam waktu 1 bulan saja. Jika deal dan sesuai target, Anda dapat memiliki perusahaan tersebut seutuhnya. Namun, jika deal dan tidak mencapai target, sebagian perusahaan Anda harus di ambil alih oleh perusahaan tersebut. Luruskan jalan cerita ini di kepala kita masing-masing dengan melimitasi berbagai kemungkinan yang masih dapat ditawarkan sebagai pilihan. 

Nah, dari kasus di atas, kira-kira CEO tersebut akan menjawab apa? “Keren juga nih tawarannya, tapi cukup berisiko ya karena tidak main-main projek ini, antara hidup dan mati” Cukup mengejutkan ketika CEO menerima tawaran dan tantangan dari perusahaan tersebut dengan berbagai risiko yang ada. Penulis tidak akan membahas lebih jauh terkait apakah perusahaan tersebut berhasil atau tidak. Penulis akan mencoba melihat mengapa CEO tersebut berani mengambil risiko yang tidak main-main.

Pembahasan ini mengasumsikan bahwa CEO dalam hal ini melihat risiko sebagai peluang. Loh, kok bisa? Ya, jika pembaca membaca artikel ini dari awal atau setidaknya paragraf sebelumnya, ada alasan mengapa CEO tersebut berani mengambil risiko besar itu. Sudah ketemu jawabannya? Kalau belum, yuk dibaca sebentar paragraf sebelumnya. Nah, jawabannya adalah karena CEO tersebut tahu betul track record dari perusahaannya selama menjalankan produksi ini. Dia tahu bahwa ia memiliki pegawai yang sudah benar-benar tersaring potensinya. Selain itu, perusahaannya juga sering kali memenangkan tender besar dengan perusahaan lain. CEO itu begitu paham kapasitas yang mampu dilakukan perusahaannya.  

Mari kita merefleksikan jawaban ini dalam diri kita masing-masing. Ketika kita dihadapkan pada suatu risiko, cobalah kita melihat diri kita sendiri, apakah kita mampu mengantisipasi risiko yang akan muncul tersebut? Jika kita telah memahami diri kita sendiri, baik kelebihan maupun kekurangan kita, harusnya kita dapat mengukur seberapa “kuat” kita dalam menghadapi risiko tersebut karena yang tahu diri kita lebih jauh adalah diri kita sendiri. Sebagai manusia yang diberi akal sehat, tentunya kita dapat memiliki insting kemungkinan-kemungkinan risiko yang dapat terjadi nantinya, dengan kemampuan kita yang dirasakan mampu menghadapi risiko tersebut, kita dapat melakukan antisipasi agar setidaknya meminimalisir risiko tersebut. 

Lalu, bagaimana jika kita merelevansikan konteks pengantar di atas dengan ajaran Buddha? 

Sedikit kilas balik kisah Buddha sebelum mencapai pembebasan batin yang Beliau cari, tidak sedikit Beliau menemukan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang membawanya pada risiko yang tidak sederhana. Potongan riwayat yang paling mudah untuk mengilustrasikannya adalah ketika Beliau memutuskan menyiksa diri di Hutan Uruvela. Tidak hanya menurunnya kesehatan akibat hanya makan dari biji yang terbawa angin, tetapi juga perubahan mental yang mungkin dialami ketika Beliau ditinggalkan oleh murid-murid pertama-Nya. 

Mengikuti riwayat hidup Buddha Gautama mengantarkan kita pada pentingnya proses bahwa segala sesuatu yang muncul dan berlalu akan melewati berbagai risiko yang tidak sederhana. Hingga sampai di suatu waktu di Bulan Purnama Sidhi, di usia 45 tahun, Sang Buddha berhasil mencapai pembebasan yang dicari-Nya terhadap empat peristiwa yang membayang-bayangi-Nya sejak meninggalkan istana. Jika kita mengutip salah satu cerita yang mengantarkan Buddha di masa pencapaian kebebasan-Nya, syair dawai menjadi salah satu cerita yang relevan untuk menjadi bekal kita sekarang ini. Dikisahkan saat Sang Buddha sedang bertapa, terdapat sekumpulan penari ronggeng melewati Sang Buddha. Saat berjalan dan bergurau, salah seorang dari mereka menyanyikan syair berikut :

“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang.

Kalau ditarik terlalu kendur, ia tak dapat mengeluarkan suara.

Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras.

Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira”

Seperti itulah kita sebagai manusia, kita harus memahami diri kita sendiri, harus pandai menimbang dan mengira seberapa maksimal kemampuan kita dalam mengantisipasi risiko yang ada. Layaknya tali gitar seperti syair di atas. Jika sebenarnya kemampuan kita dirasa tidak mampu mengambil risiko yang terlalu berat, jangan kita paksakan karena akan mencelakakan diri kita. Disinilah makna risiko sebagai petaka. Sebaliknya, jika sebenarnya kemampuan kita dapat mengambil risiko tersebut, mampu mengantisipasi risiko atau bahaya yang akan datang, namun kita tidak berani, kita sama saja melepaskan kesempatan itu yang mungkin saja dapat memberikan kita suatu kelebihan. Disinilah makna risiko sebagai peluang. Dengan demikian, keberanian kita dalam mengambil risiko tentunya harus diimbangin dengan kemampuan kita untuk menanggung risiko tersebut, karena sejatinya jawaban atas pertanyaan di awal, sebenarnya berada di dalam diri masing-masing insan manusia. Pahamilah dirimu dan bertindaklah! Penulis mungkin tidak dapat menjustifikasi mana yang benar dan mana yang salah, karena kembali lagi itu semua merupakan pilihan dan keberanian.

Jadi, izinkan penulis menutup artikel ini dengan pertanyaan : Menurutmu, risiko itu peluang atau petaka?

Referensi:

Samaggi-Phala. 2016. Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab II – Pelepasan Agung. https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/riwayat-hidup-buddha-gotama-bab-ii-pelepasan-agung/. Diakses tanggal 15 Juli 2020 pukul 10.46 WIB.