Rejuvenating Mother Earth: A Fight for Nature
“Mother Earth has given, Mother Earth has been hurt, Mother Earth will seek justice.” – Sukinah
Hai #SobatkECe! #SobatkECe semua pasti sudah banyak melihat dan mendengar tentang kerusakan alam di Indonesia. Tapi, apakah #SobatkECe tahu tentang bentuk-bentuk perlawanan dari rakyat yang rumahnya telah dieksploitasi? Di EC-Today kali ini, kita akan mengulik tentang para wanita pemberani yang bangkit melawan penjajah yang hendak merampas kekayaan tanah air, para Mama dari Sabang sampai Merauke yang maju ke garda depan agar suara mereka didengar.
Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang terjadi di alam semesta saling terhubung dengan adanya Paticcasamuppada—hukum sebab akibat, seperti yang tertera dalam Samyutta Nikaya I, 227. Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Setiap perilaku makhluk hidup, termasuk manusia, maupun peristiwa alam dapat mengakibatkan sesuatu yang akibatnya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, tumbuhan, dan alam.
Di zaman yang semakin modern ini, teknologi dan industri berkembang pesat. Hidup kita semakin nyaman dengan adanya ponsel, digitalisasi, transportasi, dan fasilitas canggih lainnya. Akan tetapi, di balik segala kemudahan dan kenyamanan tersebut, berbagai kerusakan dan penyiksaan terjadi. Lahan dibuka untuk membangun pabrik, hutan dan sawah dibabat menjadi perumahan. Pegunungan dan sumber minyak ditambangi tanpa memedulikan kehancuran lingkungan yang timbul. Alam telah dicabik hingga luka dan berdarah. Di saat pemerintah dan para pengusaha tuli terhadap tangisan Ibu Bumi, rakyat mendengar, dan bangkit untuk melawan.
Indonesia adalah salah satu eksportir utama minyak sawit, batu bara, nikel, gas, karet, serta beraneka komoditas lainnya. Ternyata, banyak dari sumber daya tersebut yang diperoleh tanpa persetujuan rakyat. Pada tahun 2016, sembilan petani wanita dari Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, membenamkan kaki mereka dalam semen selama lima hari berturut-turut di depan Istana Merdeka Jakarta sebagai bentuk protes terhadap PT Semen Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah Provinsi Jawa Tengah diam-diam memberikan perizinan kepada perusahaan tersebut untuk memulai penambangan batu kapur di kawasan Pegunungan Kendeng. Masyarakat kemudian melakukan studi banding ke area pertambangan di Tuban dan menolak usaha penambangan setelah menyadari bahwa keputusan tersebut akan merusak lingkungan tempat tinggal mereka. Demonstrasi oleh masyarakat Kendeng dipimpin oleh wanita sebagai usaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan konflik sewaktu berhadapan dengan aparat keamanan. Sayangnya, protes dari kesembilan Kartini Kendeng dan masyarakat desa tidak membuahkan hasil. Para petani Kendeng berhasil memperoleh pembatalan izin penambangan yang disetujui Mahkamah Agung, namun, pada akhirnya, aktivitas penambangan PT Semen Indonesia tetap berlanjut.
Permasalahan serupa terjadi di Mollo, Nusa Tenggara Timur, dan Luwuk, Sulawesi Tengah. Kehidupan masyarakat terancam oleh upaya penambangan gunung dan alih fungsi tanah pertanian menjadi perkebunan sawit secara sepihak tanpa adanya diskusi dengan warga lokal. Tentunya, para warga setempat tidak tinggal diam. Para wanita Mollo meninggalkan rumah dan pertanian mereka, lalu dengan berani berangkat menenun selama berhari-hari di atas pegunungan tempat penambangan dilakukan. Banyak dari mereka yang terluka oleh serangan polisi dan preman yang berjaga di gunung.
Sementara itu, di Sulawesi, masyarakat Desa Piondo dengan tegar memprotes aksi PT Berkat Hutan Pusaka dan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Perusahaan-perusahaan tersebut telah menggusur jalan-jalan dan lahan perkebunan milik petani untuk ditanami kelapa sawit. Tindak tersebut menyulut tanggapan keras dari warga, yang memuncak ketika sejumlah petani membakar ekskavator dan fasilitas lain milik PT KLS. Peristiwa tersebut berujung pada penangkapan aktivis wanita Eva Bande beserta 23 orang petani.
Hingga kini, perselisihan antara masyarakat dengan pengusaha yang ingin meraup kekayaan alam tanpa mempertimbangkan konsekuensi keserakahan mereka terhadap bumi terus berlanjut. Sang Buddha pernah berpesan bahwa manusia selayaknya selaras dengan alam. Sesuai dengan yang tertulis dalam Dhammapada: Bunga-Bunga, ayat 49: “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.” Dalam Vinaya Pitaka, para samanera memiliki aturan tegas untuk tidak menginjak dan merusak biji-bijian, mencemari air dan tumbuhan dengan kotoran, serta menebang pohon. Selain itu, dalam Vanaropa Sutta, disebutkan bahwa mereka yang menanam aramaropa (kebun) dan membangun vanaropa (hutan), pada mereka jasa akan terus bertambah siang dan malam. Manusia, seperti halnya makhluk hidup lain yang tinggal di alam semesta ini, seharusnya memperlakukan alam dengan bijaksana. Ibu Bumi telah memberikan segala yang kita butuhkan, dan kita semestinya mengambil sebanyak kebutuhan kita serta melestarikan budi baik yang kita terima kembali ke alam.
Referensi:
Febryandy, 2020, Refleksi Mengenai Krisis Lingkungan dalam Mengenal Tuhan Melalui Alam Terhadap Ajaran Buddha, diakses 20 Februari 2024, dari https://binus.ac.id/character-building/2020/04/refleksi-mengenai-krisis-lingkungan-dalam-mengenal-tuhan-melalui-alam-terhadap-ajaran-buddha
Kementrian Agama, 2021, Hijau Alamku, Damai Jiwaku, diakses 20 Februari 2024, dari https://kemenag.go.id/read/hijau-alamku-damai-jiwaku-n3b9p
Our Mothers’ Land (Full Movie), 2020, film dokumenter, The Gecko Project, Britania Raya.
Profil Penulis:
Hi! My name is Jap, Marshella D. K. or Shella for short, and I’m the mastermind behind this content! I’m a creative creator with a passion for art, and my hobbies are reading, writing, and drawing. I am currently interested in topics related to humanity, which includes inclusivity and psychological analysis. Find out more about me here:
www.linkedin.com/in/japmarshella.