EC-Article of the Month #1

| By admin

 

BAGAIMANA AGAMA BUDDHA MEMANDANG PENDERITAAN?
Oleh : Novirene Tania

Salah satu pokok ajaran Agama Buddha adalah Cattari Ariya Saccani (Empat Kebenaran Mulia) yang terdiri dari Empat Kebenaran Mulia tentang Dukkha, tentang Sebab Dukkha, tentang Lenyapnya Dukhha, dan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha. Sekilas dilihat dari isinya, semua poin berbicara tentang Dukkha (penderitaan). Tidak heran jika banyak orang salah dalam beranggapan dan memandang Agama Buddha adalah agama yang pesimitis. Lalu, bagaimana sebenarnya Dukkha dalam perspektif umat Buddha?

Bicara tentang penderitaan, tentu erat kaitannya dengan kebahagiaan. Siapa orang di dunia ini yang tidak ingin bahagia? Siapa orang yang tidak ingin selalu bersukacita dan semua realita sesuai dengan harapannya? Namun, mungkinkah ada orang yang selalu saja bahagia? Mungkinkah ada orang yang tidak pernah menemui satu kali pun fase perubahan dalam hidupnya?

Jawaban dari pertanyaan itu semua jelas mengantarkan kita pada suatu kenyataan bahwa pada dasarnya hidup tidak selalu mulus-mulus saja. Kita pasti dan akan mengalami sakit baik secara fisik maupun rohani, berpisah dengan yang dicinta, berkumpul dengan yang dibenci, kehilangan yang begitu kita perjuangkan, dan semua hal yang membuat kita bisa sedih, kecewa, khawatir, hingga mungkin depresi dan kehilangan arah. Begitulah sederhananya Agama Buddha menjelaskan tentang dukkha (penderitaan).

Penderitaan tidak bisa dilepaskan dari kebahagiaan. Penderitaan bukan hanya merujuk tentang segala sesuatu yang menderita dalam pandangan kebanyakan orang. Penderitaan juga merujuk tentang segala hal yang tidak kekal, yang bersyarat, dan selalu berubah-ubah. Pagi tadi kita bisa saja masih bisa tertawa bersama teman-teman tentang suatu hal yang lucu dan menggelikan, tetapi siapa yang dapat memastikan di siang harinya kita bisa saja sedih dan menangis karena sesuatu hal yang tidak sesuai dengan angan-angan kita.

Lalu, apakah Agama Buddha hanya sampai di situ saja dalam menjelaskan tentang Dukkha? Tentu, tidak. Melalui usaha sendiri untuk memaknai kondisi kehidupan yang begitu dinamis, Buddha mengajarkan kepada kita tentang cara melenyapkan penderitaan. Secara umum, Buddha mengajarkan tentang ‘Jalan Tengah (Majjhima Patipada)’. Secara garis besar, Jalan Tengah merupakan penunjuk bahwa dalam hidup ini kita harus dapat berada dalam posisi yang seimbang – menghindari diri dari penyiksaan diri yang berlebihan dan hidup berfoya-foya untuk memuaskan kesenangan nafsu indera.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktik Jalan Tengah dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan pola hidup. Kita belajar untuk bisa menjadi guru untuk diri kita sendiri – menjadi penyayang sekaligus penegur untuk diri kita sendiri. Ketika kita tahu badan kita dalam kondisi tidak sehat, maka kita perlu meluangkan waktu untuk istirahat, kurangi kerja sampai larut malam, dan imbagi dengan makan makanan yang bergizi. Inilah yang disebut cara menghindari penyiksaan diri yang ekstrim. Di lain kondisi, ketika kita tahu bahwa uang yang baru saja kita peroleh baik dari hasil bekerja atau kiriman orang tua perlu dipakai untuk banyak hal, maka kita harus bisa mengatur keuangan dengan baik. Adakalanya kita boleh membahagiakan diri sebagai bentuk apresiasi tetapi tetap dalam kondisi yang wajar – tidak membuang-buang uang hanya untuk kesenangan berlebihan ketika masih banyak kebutuhan lainnya yang lebih penting. Inilah yang disebut cara menghindari hidup yang berfoya-foya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan mempraktikkan jalan tersebut penderitaan kita akan langsung hilang begitu saja?

Nah, maka kita perlu secara bijaksana menafsirkan maksud dari ajaran ini. Berbagai kondisi yang tidak menyenangkan seperti yang telah disebutkan di awal, apakah mungkin akan stop tiba-tiba? Apakah mungkin selamanya kita hidup dengan orang-orang yang kita sukai saja? Apakah mungkin selamanya kita selalu sehat dan bersemangat melakukan semua aktivitas yang menyenangkan maupun membosankan? Tentu tidak, bukan? Dengan demikian, Jalan Tengah tidak lain adalah cara melenyapkan dukkha dengan berangkat pada pengendalian perasaan. Mempraktikkan jalan tengah berarti kita belajar mengendalikan perasaan kita terhadap segala yang tidak kekal dan selalu berubah. Kita belajar memaknai dan menyikapi segala perubahan yang kita suka maupun tidak kita suka dengan memulai dari kita sendiri. Kita harus selalu belajar dan belajar untuk hidup tenang, belajar mengendalikan emosi, belajar menebar kebaikan, dan sampai akhirnya belajar untuk menyadari bahwa kehidupan ini memang tidak sempurna.

Dengan demikian, Agama Buddha tidak hanya mentrasfer pengetahuan dan ajaran kebaikan untuk umat Buddha saja, tetapi dapat berlaku universal. Sederhananya, karena penderitaan itu bukan hanya akan dialami oleh umat Buddha saja, tetapi semua yang terbentuk tentu akan dilekati dengan berbagai hal yang selalu berkondisi.

Pikirkan satu kebaikan kecil setiap harinya dan segala yang berubah akan mampu kita hadapi dengan bijaksana.

Referensi
Virana & Ing, T., 2008, Ensiklopedia Buddha Dhamma Keyakinan Menjadi Umat Buddha, CV. Santusita, Jakarta