Sadar: Perkecil yang Besar dan Selesaikan
Oleh Novirene Tania
Kita seringkali tampak begitu dekat dengan masalah. Semakin tua, semakin banyak saja masalah. Kita mudah gelisah, kecewa, khawatir, sedih, bahkan marah karena masalah, katanya. Dunia pun begitu. Belum selesai masalah yang satu, masalah selanjutnya sudah menyusul – kerusuhan dimana-mana, harga barang tidak stabil, bencana melanda merusak wajah kota, kebijakan yang muncul dirasa tidak memihak atau bahkan masyarakat milenial tidak secanggih teknologi yang digunakannya. Ungkapan “Ah, gara-gara ini nih jadi gini” atau “astaga, kenapa harus gini kenapa harus gitu” terdengar begitu sering di telinga kita bahkan kita ikut mengucapkannya juga. Namun, benarkah semua harus selalu berfokus pada masalah?
Kita tentu sudah tau bahwa alam semesta akan selalu bekerja terlepas dari kita diam ataupun bergerak. Ada saja fenomena yang dapat kita lihat bahkan rasakan sebagai bukti bahwa alam semesta itu benar ada. Begitu juga dengan hidup kita selalu berdinamika sesuai caranya. Hal yang berbeda 180 derajat sangat mungkin terjadi di saat yang bersamaan. Namun, lumrahnya, sesuatu baru kita sebut ‘masalah’ ketika semua hal itu terlalu banyak bergesekan dengan diri kita, menguras pikiran dan emosi, hingga kita sulit mengendalikan lagi segala sesuatu di luar diri yang begitu luar biasa bekerjanya.
Imasmim Sati Idam Hoti – Dengan adanya ini, terjadilah itu
Imassupada Idam Uppajati – Dengan timbulnya ini, timbullah itu
Imasmim Asati Idam Na Hoti – Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu
Imassa Nirodha Idam Nirujjati – Dengan tidak timbulnya ini, tidak timbullah itu
Patticasamuppada yang bermakna sebagai Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan telah jelas memberitahukan bahwa siklus kehidupan begitu ruwetnya. Semua bentuk tindakan didorong oleh sebab akibat lainnya yang bekerja saling berhubungan termasuk bentukan pikiran dan perasaan. Dengan melihat kutipan singkat di atas, dapat kita maknai bahwa segala hal yang besar dibangun dari dan oleh sesuatu yang sedang, kecil, atau bahkan sangat kecil. Kesemuanya ini tidak lain tidak bukan adalah sebagai dampak langsung dari adanya sesuatu yang bersyarat dan berkondisi.
Lalu pertanyaannya, jika kemunculan sesuatu dibangun dari sesuatu yang kecil hingga membesar, maka dapatkah kita menggunakan konsep ini untuk menyelesaikan sesuatu itu pula?
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, permasalahan jika diperhatikan dengan cermat sebenarnya merupakan suatu hal yang wajar. Kerusuhan wajar terjadi karena dunia ini ditempati oleh banyak manusia dari beragam latar belakang. Harga barang sewaktu-waktu tidak stabil juga merupakan hal yang wajar karena kondisi ekonomi selalu dinamis sebagai dampak dari hubungan antarnegara dalam perdagangan dunia. Begitu pun halnya dengan bencana yang melumpuhkan kehidupan kota juga tampak wajar jika mengingat bahwa semua wilayah selalu memiliki ancaman bahaya yang tidak dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Kita sebagai masyarakat dan segenap pemerintah hanya mampu memperbesar kapasitas dan kesiapsiagaan kita. Begitu juga dengan hidup kita sehari-hari, semua rasa yang terjadi sangat wajar karena kita terus bertemu dengan banyak orang yang berbeda karakter, berbeda kepentingan, dan berbeda dalam menyikapi situasi yang ada.
Pada dasarnya, tidak ada satupun orang di dunia ini yang ingin ditimpa banyak masalah bukan? Hidup bahagia tanpa banyak beban adalah dambaan untuk semua orang. Meskipun demikian, tentu itu adalah hal yang mustahil. Namun, coba kita berpikir, seberapa jauh kita tumbuh lebih kuat karena masalah? Awalnya, mungkin kita ragu bisa menyelesaikan masalah kecil yang kita hadapi. Seiring berjalannya waktu, seiring kita terus mencoba melakukan upaya mencari solusi, masalah itu pun selesai dan terus bergantian dengan masalah lain yang jauh lebih kompleks. Sampai kita tidak sadar sebenarnya masalah mendorong kita memiliki limitasi yang baru. Secara tidak langsung, masalah membuat kita mempunyai ketahanan diri yang jauh lebih berkembang dari sebelumnya – kita semakin mendewasa dan penuh pertimbangan dalam membuat keputusan.
Lalu sebenarnya, mengapa kita mampu berkembang dari masalah? Apa hal yang kita lakukan? Setelah membaca paragraf di atas tidakkah kita peka bahwa semua hal mengantarkan kita pada satu solusi yang selama ini mungkin kita lakukan yaitu kesadaran?
Sadar – sesuatu yang menurut orang tampak sederhana jika dilihat dari suku katanya dan mudah pula dalam pengucapannya tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Mengapa demikian? Seperti halnya segala yang berkondisi, kita membutuhkan banyak tahapan untuk menjadi ‘sadar’. Kita perlu belajar peka untuk mengamati, merenungi, menerima, hingga bahkan mengikhlaskan. Sadar tidak mengajarkan kita menjadi orang yang pesimis, tetapi lebih dari itu: dalam banyak keadaan kita belajar menjadi lebih realistis.
Setiap masalah yang seringkali kita jadikan sebagai tameng dan alasan akan tampak masuk akal pada waktunya dengan cara kita belajar mengembangkan kesadaran. Nampaknya memang sulit, tetapi coba renungkan bahwa dengan sadar kita banyak mendapatkan keuntungan. Kita akan mempersingkat waktu karena kita tidak terus menyalahkan keadaan tanpa pembenaran. Kita yang seringkali bersahabat pada pembenaran dan memusuhi kenyataan akan belajar tentang ciri kehidupan yang sering menyuguhkan kondisi jarak antara realita dan ekspetasi terlampau jauh. Dengan sadar, kita juga dapat merasakan diri jauh lebih tenang karena kita sudah terbiasa menghadapi masalah dan memperkecilnya. Hingga pada akhirnya kita akan sampai pada fase menyadari bahwa sadar adalah bekal untuk memperkecil masalah dengan cara menyelesaikannya hingga bahkan mengikhlaskannya.
Selamat belajar ‘sadar’, kita coba bersama!
Referensi
Virana & Ing, T., 2008, Ensiklopedia Buddha Dhamma Keyakinan Menjadi Umat Buddha, CV. Santusita, Jakarta